Mejuah- juah...........................
Blog ini dibuat sebagai ajang sharing untuk kawan - kawan permata yang ada diseluruh pelosok nusantara yang dapat membangun iman serta sosok diri permata GBKP. Blog ini juga berisi tentang kegiatan - kegiatan permata GBKP yang ada di Kepri terkhusus lagi untuk kegiatan permata GBKP batam Centre. Salam Damai Dalam Nama Kristus Amin............

About Me

Foto Saya
REDO
BATAM, KEPRI, Indonesia
GONE WITH THE WIND
Lihat profil lengkapku
Tuhan......... memberi Pelangi di setiap air mata..
Alunan merdu di setiap helaan nafas..
Berkat di setiap cobaan..
Dan jawaban indah di setiap doa..
Diberdayakan oleh Blogger.

GBKP

GBKP

PERMATA

PERMATA

Comunity

03 Agustus 2010

Denah dan Keterangan Rumah Adat Karo (Siwaluh Jabu)


Ini adalah denah dan gambar dari Rumah Adat Karo.


rumah adat karo

KETERANGAN

* JABU BENA KAYU : didiami oleh para keturunan simantek kuta (Golongan Pendiri Kampung)

* JABU SEDAPUR BENA KAYU (PENINGGEL-NINGGEL) : Didiami oleh Anak Beru Menteri dari simantek kuta /Jabu Bena Kayu (1)

* JABU SEDAPUREN LEPAR UJUNG KAYU (BICARA GURU) : Didiami oleh Guru/Tokoh Spiritual atau Tabib yang mengetahui berbagai pengobatan. Bertugas untuk mengobati anggota rumah yang sakit.

* JABU LEPAR UJUNG KAYU (MAN-MINUM) : Didiami oleh Kalimbubu Jabu Bena Kayu (1)

* JABU UJUNG KAYU (ANAK BERU) : Didiami oleh Anak Kuta atau Anak Beru dari Jabu Bena Kayu, yang berfungsi sebagai juru bicara Jabu Bena Kayu.

* JABU SEDAPUR UJUNG KAYU (RINTENENG) :Didiami oleh sembuyak dari Ujung Kayu, bertugas untuk engkapuri belo, menyerahkan belo kinapur kepada tamu Jabu Bena Kayu (1).

* JABU SEDAPUREN LEPAR BENA KAYU : Didiami oleh Puang Kalimbubu dari Jabu Bena Kayu (1) disebut juga Jabu Pendungin Ranan dan dalam Runggun Adat Karo persetujuan terakhir diberikan oleh Puang Kalimbubu.

* JABU LEPAR BENA KAYU (SUNGKUN BERITA) : Didiami oleh sembuyak dari Jabu Bena Kayu (1), berfungsi untuk mendengarkan berita yang terjadi di luar rumah dan menyampaikannya kepada Jabu Bena Kayu (1)

PAKAIAN ADAT KARO DAN FUNGSINYA

CONTOH PAKAIAN ADAT KARO





Berikut adalah jenis-jenis pakaiat adat Karo sekaligus fungsi-fungsi dari pakaian adat tersebut:

1.Uis nipes
Untuk tudung, "maneh-maneh" (kado untuk perempuan), untuk mengganti pakaian orang tua (pihak perempuan) dan sebagai alas "pinggan pasu" (piring) pada saat memberikan mas kawin dalam upacara adat.

2.Uis julu
Untuk sarung, "maneh-maneh", untuk mengganti pakaian orang tua (untuk laki-laki) dan selimut.

3.Gatip gewang
Untuk menggendong bayi perempuan dan "abit" (sarung) laki-laki

4.Gatip jongkit
Untuk "gonje" (sarung) upacara adat bagi laki-laki dan selimut bagi "kalimbubu" (paman).

5.Gatip cukcak
Kegunaannya sama dengan gatip gewang, bedanya adalah gatip cukcak ini tidak pakai benang emas.

6.Uis pementing
Untuk ikat pinggang bagi laki-laki

7.Batu jala
Untuk tudung bagi anak gadis pada pesta "guro-guro aron". Boleh juga dipakai laki-laki, tapi harus 3 lapis, yaitu: uis batu jala, uis rambu-rambu dan uis kelam-kelam.

8.Uis arinteneng
Sebagai alas waktu menjalankan mas kawin dan alas piring tempat makan pada waktu "mukul" (acara makan pada saat memasuki pelaminan), untuk memanggil roh, untuk "lanam" (alas menjunjung kayu api waktu memasuki rumah baru), untuk "upah tendi" (upah roh), diberikan sebagai penggendong bayi dan alas bibit padi.

9.Uis kelam-kelam
Untuk tudung orang tua, untuk "morah-morah" (kado untuk laki-laki), dan boleh juga dipakai oleh laki-laki dalam upacara adat, tapi disertai batu jala dan rambu-rambu.

10.Uis cobar dibata
Untuk upacara kepercayaan, seperti "uis jinujung", "berlangir" dan "ngelandekken galuh".

11.Uis beka buluh
Untuk "bulang-bulang" diikatkan di kepala laki-laki pada upacara adat.

12.Uis gara
Untuk penggendong anak-anak, tudung untuk orang tua dan anak gadis.

13.Uis jujung-jujungen
Untuk melapisi bagian atas tudung bagi kaum wanita yang mengenakan tudung dalam upacara adat.

PERNIKAHAN ADAT KARO


Ada beragam sistem pernikahan di Indonesia antara lain :

1.Sistem Endogami.
Pada sistem ini, seseorang hanya diperbolehkan kawin dalam keluarganya sendiri. Di Indonesia contoh perkawinan seperti ini menurut "Van Vollenhoven" hanya terdapat di Toraja saja (Surojo Wignodipuro, SH. 1973 : 152).

2.Sistem Exogami.
Pada sistem iniseseorang diharuskan kawin dengan orang lain diluar marganya (clannya) atau keluarganya. Perkawinan demikian terdapat juga di daerah Gayo, Alas, Tapanuli, Minangkabau, Sumatera Selatan, Buru dan Seram. (Surojo Wignodipuro, SH. 1973 : 152).

3.Sistem Eleutherogami.
Pada Sistem ini tidak dikenal larangan atau keharusan untuk kawin dengan kelompok tertentu. Larangan-larangan yang ada hanyalah yang bertalian dengan ikatan darah atau kekeluargaan (turunan) yang dekat.
Sistem perkawinan seperti ini terdapat juga di Aceh, Sumatera Bagian Timur, Bangka Belitung, Kalimantan, Minahasa, Sulawesi Selatan, Ternate, Irian Barat, Timor, Bali, Lombok, dan seluruh Jawa Madura.

Untuk Sistem Perkawinan pada masyarakat Karo terdiri dari :

1. Sistem Perkawinan pada Merga Gonting, Karo - karo dan Tarigan.
Pada merga-merga (baca : marga) diatas, berlaku sistem perkawinan exogami murni, dimana mereka yang berasal dari sub-sub merga Ginting, Karo-Karo dan Tarigan diharuskan kawin dengan orang lain dari luar merganya, atau dilarang kawin semarga.

2. siste Perkawinan Pada Merga Perangin - angin dan Sembiring.
Sistem perkawinan pada kedua merga ini adalah elutherogami terbatas. Adapun letak keterbatasannya adalah seseorang dari merga tertentu Perangin-angin atau Sembirirng diperbolehkan kawin dengan orang dari merga yang sama, tetapi sub merga (lineagea)-nya berbeda.
Misalnya dalam merga Perangin-angin, antara Bangun dengan Sebayang, atau antara Kuta Buluh dengan Sebayang.

Demikian juga di dalam merga Sembiring, antara Brahmana dengan Meliala, antara Pelawi dengan Depari, dan sebagainya.

Larangan Perkawinan dengan orang dari luar merga (clan)-nya tidak dikenal, kecuali antara Sebayang dengan Sitepu, atau antara Sinulingga dengan Tekang, yang disebut sejanji atau berdasarkan sebuah perjanjian yang telah diperbuat sebelumnya, dimana mereka telah mengadakan perjanjian untuk tidak saling kawin-mengawini. Eleutherogami terbatas ini menunjukkan bahwa merga bukan sebagai hubungan geneakolongis, dan asal-usul sub merga tidak sama.

Disari dari Adat Karo, karya Darwin Prinst, SH., terbitan Kongres Kebudayaan Karo, Medan 1996.

Berdasarkan jumlah isteri dikenal perkawinan monogami dan poligami. Perkawinan poligami biasanya terjadi karena :
- tidak mendapat keturunan
- tidak memperoleh keturunan laki-laki
- saling mencintai
- tidak ada kecocokan dengan isteri pertama
- meneruskan hubungan kekeluargaan

Berdasarkan proses terjadinya perkawinan, dapat dibagi atas perkawinan suka sama suka (saling mencintai) dan perkawinan atas dasar prakarsa atau peranan orang tua (baca : dijodohkan), yang biasanya terjadi untuk mempertahankan hubungan kekeluargaan atau karena seorang wanita telah hamil.

Berdasarkan status dari pihak yang kawin, dapat dibagi menjadi :

I. Gancih Abu (ganti tikar). Yaitu bila seorang wanita menikah dengan seorang pria untuk menggantikan kedudukan saudaranya yang telah meninggal sebagai isteri. Hal ini biasanya terjadi untuk meneruskan hubungan kekeluargaan, melindungi kepentingan anak pada perkawinan pertama, dan juga untuk menjaga keutuhan harta dari perkawinan pertama.

II. Lako Man (turun ranjang). Yaitu apabila seorang pria kawin dengan seorang wanita yang tadinya adalah bekas isteri saudaranya yang telah meninggal dunia.

Adapun jenis-jenis dari Lako Man adalah :

Mindo Nakan.
Yaitu suatu perkawinan antara seorang pria dengan wanita mantan isteri saudara ayahnya.

Mindo Cina.
Yaitu perkawinan antara seorang pria dengan wanita yang secara tutur adalah neneknya.

-Kawin Ciken.
Perkawinan antara seorang pria dengan wanita mantan isteri ayah/saudaranya yang telah dijanjikan sebelumnya. Hal ini terjadi pada zaman dahulu disebabkan seorang wanita yang masih sangat muda dikawinkan dengan pria yang sudah tua, lalu dibuat perjanjian bahwa salah seorang dari putra/saudaranya sebagai ciken (tongkat) apabila suaminya kelak meninggal dunia.
Pada jaman dahulu bila seseorang memiliki dua orang isteri dan salah seorang diantaranya belum memiliki keturunan laki-laki, dan pada pihak yang lain, salah seorang saudara dari suaminya belum memiliki isteri, maka isteri yang belum memiliki keturunan laki-laki tersebut dapat disahkan menjadi isteri saudara suaminya tersebut, dengan harapan agar tetep terpeliharanya hubungan kekeluargaan dengan pihak wanita, dan diperolehnya keturunan dengan suami barunya. Contohnya lihat dalam kasus Pustaka Kembaren dan cerita Pincawan dan Lambing (Sebayang). Hal itulah yang terjadi dalam merga Sebayang dan Pencawan dan Kembaren (Sijagat) dengan Kembaren Perti.
Ngalih. Yaitu lako man kepada isteri abang (kaka).
Ngianken. Yaitu lako man kepada isteri adik (agi).

III. Piher Tendi/Erbengkila bana. Adalah perkawinan antara orang yang menurut tutur, si wanita memanggil bengkila kepada suaminya. Di daerah Karo Langkat ini disebut perkawinan Piher Tendi.


Berdasarkan jauh dekatnya hubungan kekeluargaan, dikenal empat jenis perkawinan yakni :

4.Petuturken.
Suatu perkawinan yang dilangsungkan antara seorang pria dan wanita yang bukan 'rimpal'. Perkawinan demikian diperbolehkan oleh adat sejauh tidak ada larangan seperti : erturang (satu merga) untuk Ginting, Karo-Karo dan Tarigan, kecuali Perangin-angin dan Sembiring. Dimana sub merga Perangin-angin yaitu Sebayang diperbolehkan kawin dengan Kuta Buluh/Sukatendel, Bangun dengan Sebayang dan lainnya. Juga dalam sub merga Sembiring, antara Sembiring Brahmana dengan Meliala.

5.Erdemu Bayu.
Perkawinan antara seorang pria dan wanita dimana ayah si wanita bersaudara dengan ibu si pria, yang dalam tutur mereka disebut 'rimpal'. Atau si wanita disebut beru puhun atau beru singumban dari pria, dan perkawinan seperti inilah yang diharapkan dalam adat Karo.

6.Merkat Sinuan.
Adalah sebuah perkawinan yang dilangsungkan antara seorang pria dan wanita puteri dari 'puang kalimbubunya'. Perkawinan seperti ini biasanya sangat dihindarkan dalam adat karena tutur mereka adalah 'erturangku'.

7.La Arus.
Adalah perkawinan antara pria dengan wanita yang secara adat adalah terlarang, seperti mengawini turang, turang impal atau puteri anak beru. Untuk melangsungkan perkawinan seperti ini harus ada sanksi adat, seperti terjadi pada rumah empat tundok di Kuta Buluh.

LEGENDA LAU KAWAR

Legenda Lau Kawar merupakan sebuah legenda yang berkembang di Kabupaten Karo, Sumatera Utara. Kabupaten ini memiliki wilayah seluas 2.127,25 km2 ini terletak di dataran tinggi provinsi Sumatera Utara.
Karena daerahnya terletak di dataran tinggi, sehingga kabupetan ini dijuluki Taneh Karo Simalem. Kabupaten ini memiliki iklim yang sejuk dengan suhu berkisar antara 16 sampai 17C dan memiliki tanah - tanah yang subur. Maka tidak heran, jika daerah ini sangat kaya dengan keindahan alamnya. Salah satunya adalah keindahan alam yang ada di Kabupaten ini adalah Danau Lau Kawar, yang terletak di Desa Kuta Gugung, Kecamatan Simpang Empat, Kabupaten Karo. letaknya tepat di bawah kaki gunung Sinabung Air yang bening dan tenang, serta bunga-bunga anggrek yang indah, yang mengelilingi danau ini menjadi pesona alam yang mengagumkan.
Menurut masyarakat setempat, sebelum terbentuk menjadi sebuah danau yang indah, Danau Lau Kawar adalah sebuah desa yang bernama "Kawar". Dahulu, daerah tersebut merupakan kawasan pertanian yang sangat subur. Mata pencaharian utama penduduknya adalah bercocok tanam. Hasil pertanian mereka selalu melimpah ruah, meskipun tidak pernah memakai pupuk dan obat-obatan seperti sekarang ini. Suatu waktu, terjadi malapetaka besar, sehingga desa Kawar yang pada awalnya merupakan sebuah desa yang subur menjelma menjadi sebuah danau. Apa sebenarnya yang terjadi dengan desa Kawar itu? inilah cerita awal terjadinya Danau lau kawar tersebut.!

Pada zaman dahulu kala ada sebuah desa yang sangat subur di daerah Kabupaten Karo. Desa Kawar namanya. Penduduk desa ini umumnya bermata pencaharian sebagai petani. Hasil panen mereka selalu melimpah ruah. Suatu waktu, hasil panen mereka meningkat dua kali lipat dari tahun sebelumnya. Lumbung-lumbung mereka penuh dengan padi. Bahkan banyak dari mereka yang lumbungnya tidak muat dengan hasil panen. Untuk mensyukuri nikmat Tuhan tersebut, mereka pun bergotong-royong untuk mengadakan selamatan dengan menyelenggarakan upacara adat.
Pada hari pelaksanaan upacara adat tersebut, Desa Kawar tampak ramai dan semarak. Para penduduk mengenakan pakaian yang berwarna-warni serta perhiasan yang indah. Kaum perempuan pada sibuk memasak berbagai macam masakan untuk dimakan bersama dalam upacara tersebut. Pelaksanaan upacara juga dimeriahkan dengan pagelaran ‘Gendang Guro-Guro Aron’, musik khas masyarakat Karo. Pada pesta yang hanya dilaksanakan setahun sekali itu, seluruh penduduk hadir dalam pesta tersebut, kecuali seorang nenek tua renta yang sedang menderita sakit lumpuh. Tidak ketinggalan pula anak, menantu maupun cucunya turut hadir dalam acara itu.
Tinggallah nenek tua itu seorang sendiri terbaring di atas pembaringannya. “Ya, Tuhan! Aku ingin sekali menghadiri pesta itu. Tapi, apa dayaku ini. Jangankan berjalan, berdiri pun aku sudah tak sanggup,” ratap si nenek tua dalam hati.
Dalam keadaan demikian, ia hanya bisa membayangkan betapa meriahnya suasana pesta itu. Jika terdengar sayup-sayup suara Gendang Guro-guro Aron didendangkan, teringatlah ketika ia masih remaja. Pada pesta Gendang Guro-Guro Aron itu, remaja laki-laki dan perempuan menari berpasang-pasangan. Alangkah bahagianya saat-saat seperti itu. Namun, semua itu hanya tinggal kenangan di masa muda si nenek. Kini, tinggal siksaan dan penderitaan yang dialami di usia senjanya. Ia menderita seorang diri dalam kesepian. Tak seorang pun yang ingin mengajaknya bicara. Hanya deraian air mata yang menemaninya untuk menghilangkan bebannya. Ia seakan-akan merasa seperti sampah yang tak berguna, semua orang tidak ada yang peduli padanya, termasuk anak, menantu serta cucu-cucunya.
Ketika tiba saatnya makan siang, semua penduduk yang hadir dalam pesta tersebut berkumpul untuk menyantap makanan yang telah disiapkan. Di sana tersedia daging panggang lembu, kambing, babi, dan ayam yang masih hangat. Suasana yang sejuk membuat mereka bertambah lahap dalam menikmati berbagai hidangan tersebut. Di tengah-tengah lahapnya mereka makan sekali-kali terdengar tawa, karena di antara mereka ada saja yang membuat lelucon. Rasa gembira yang berlebihan membuat mereka lupa diri, termasuk anak dan menantu si nenek itu. Mereka benar-benar lupa ibu mereka yang sedang terbaring lemas sendirian di rumah.
Sementara itu, si nenek sudah merasa sangat lapar, karena sejak pagi belum ada sedikit pun makanan yang mengisi perutnya. Kini, ia sangat mengharapkan anak atau menantunya ingat dan segera mengantarkan makanan. Namun, setelah ditunggu-tunggu, tak seorang pun yang datang.
“Aduuuh…! Perutku rasanya melilit-lilit. Tapi, kenapa sampai saat ini anak-anakku tidak mengantarkan makanan untukku?” keluh si nenek yang badannya sudah gemetar menahan lapar. Dengan sisa-sisa tenaga yang ada, ia mencoba mencari makanan di dapur, tetapi ia tidak mendapatkan apa-apa. Rupanya, sang anak sengaja tidak memasak pada hari itu, karena di tempat upacara tersedia banyak makanan.
Akhirnya, si nenek tua terpaksa beringsut-ingsut kembali ke pembaringannya. Ia sangat kecewa, tak terasa air matanya keluar dari kedua kelopak matanya. Ibu tua itu menangisi nasibnya yang malang.
“Ya, Tuhan! Anak-cukuku benar-benar tega membiarkan aku menderita begini. Di sana mereka makan enak-enak sampai kenyang, sedang aku dibiarkan kelaparan. Sungguh kejam mereka!” kata nenek tua itu dalam hati dengan perasaan kecewa.
Beberapa saat kemudian, pesta makan-makan dalam upacara itu telah usai. Rupanya sang anak baru teringat pada ibunya di rumah. Ia kemudian segera menghampiri istrinya.
“Isriku! Apakah kamu sudah mengantar makanan untuk ibu?” tanya sang suami kepada istrinya.

“Belum?” jawab istrinya.

“Kalau begitu, tolong bungkuskan makanan, lalu suruh anak kita menghantarkannya pulang!” perintah sang suami.

“Baiklah, suamiku!‘ jawab sang istri.

Wanita itu pun segera membungkus makanan lalu menyuruh anaknya, “Anakku! Antarkan makanan ini kepada nenek di rumah!” perintah sang ibu.

“Baik, Bu!” jawab anaknya yang langsung berlari sambil membawa makanan itu pulang ke rumah.
Sesampainya di rumah, anak itu segera menyerahkan makanan itu kepada neneknya, lalu berlari kembali ke tempat upacara. Alangkah senangnya hati sang nenek. Pada saat-saat lapar seperti itu, tiba-tiba ada yang membawakan makanan. Dengan perasaan gembira, sang nenek pun segera membuka bungkusan itu. Namun betapa kecewanya ia, ternyata isi bungkusan itu hanyalah sisa-sisa makanan!!.
Beberapa potong tulang sapi dan kambing yang hampir habis dagingnya. “Ya, Tuhan! Apakah mereka sudah menganggapku seperti binatang. Kenapa mereka memberiku sisa-sisa makanan dan tulang-tulang,” gumam si nenek tua dengan perasaan kesal.

Sebetulnya bungkusan itu berisi daging panggang yang masih utuh. Namun, di tengah perjalanan si cucu telah memakan sebagian isi bungkusan itu, sehingga yang tersisa hanyalah tulang-tulang.
Si nenek tua yang tidak mengetahui kejadian yang sebenarnya, mengira anak dan menantunya telah tega melakukan hal itu. Maka, dengan perlakuan itu, ia merasa sangat sedih dan terhina. Air matanya pun tak terbendung lagi. Ia kemudian berdoa kepada Tuhan agar mengutuk anak dan menantunya itu.
“Ya, Tuhan!” Mereka telah berbuat durhaka kepadaku. Berilah mereka pelajaran!” perempuan tua itu memohon kepada Tuhan Yang Mahakuasa. Baru saja kalimat itu lepas dari mulut si nenek tua, tiba-tiba terjadi gempa bumi yang sangat dahsyat. Langit pun menjadi mendung, guntur menggelegar bagai memecah langit, dan tak lama kemudian hujan turun dengan lebatnya.

Seluruh penduduk yang semula bersuka-ria, tiba-tiba menjadi panik. Suara jerit tangis meminta tolong pun terdengar dari mana-mana. Namun, mereka sudah tidak bisa menghindar dari keganasan alam yang sungguh mengerikan itu.
Dalam sekejap, desa Kawar yang subur dan makmur tiba-tiba tenggelam. Tak seorang pun penduduknya yang selamat dalam peristiwa itu. Beberapa hari kemudian, desa itu berubah menjadi sebuah kawah besar yang digenangi air. Oleh masyarakat setempat, kawah itu diberi nama ‘Lau Kawar’.
Demikianlah cerita tentang Asal Mula Lau Kawardari daerah Tanah Karo, Sumatera Utara. Cerita di atas termasuk cerita rakyat teladan yang mengandung pesan-pesan moral. Sedikitnya ada tiga pesan moral yang dapat dipetik dari cerita di atas, yaitu pandai mensyukuri nikmat, menjauhi sifat durhaka kepada orang tua, dan menyia-nyiakan amanat.